TERKINNI.COM – Pada 3 April, Tim investigasi bersama Administrasi Tenaga Kerja Militer Kantor Kejaksaan Seoul Selatan menyerahkan dokumen A4 setebal 53 halaman kepada Kementerian Kehakiman berisi tindakan spesifik Ravi VIXX dan Nafla yang menghindari wajib militer.
Dalam dokumen tersebut, dinyatakan bahwa pada Februari 2021, Ravi dan perwakilan agensinya ‘A’ bertemu dengan Gu, seorang broker pembebasan wajib militer. Dalam pertemuan tersebut, Gu menyarankan agar Ravi menghindari wajib militer dengan memalsukan gejala epilepsi, sementara Nafla dapat mengaku mengalami penyakit mental yang memburuk sebagai dasar pembebasan.
Pada Maret 2021, ‘A’ menandatangani kontrak atas nama Ravi, termasuk membayarkan biaya sebesar 50 juta won (~569,3 juta rupiah). Sebagai bagian dari kesepakatan, mereka menerima skenario palsu tentang Ravi yang menderita epilepsi. Pada Juni 2021, ketika Ravi menerima sertifikat medis untuk pembebasan wajib militer, Gu mengirimkan pesan teks kepada ‘A’ untuk memberi selamat kepada Ravi karena telah mendapatkan pembebasan dari wajib militer.
Namun, dikatakan bahwa ahli saraf Ravi tidak dapat menemukan kelainan apa pun. Ravi juga tak memerlukan perawatan atau resep obat. Meski demikian, Ravi memprotes dokternya dengan tegas, meminta agar dirinya menerima resep obat dan mendapatkan diagnosis. Ravi mengancam dengan mengatakan bahwa karier musiknya bergantung pada hasil diagnosis tersebut.
Sedangkan untuk Nafla yang berada di bawah agensi yang sama dengan Ravi, Gu menyuruh Nafla untuk berpura-pura bahwa penyakit mentalnya semakin parah. Namun, kejaksaan menemukan bahwa Nafla secara teratur mengunjungi klinik dan diberi resep obat yang tidak diminumnya. Nafla juga tidak mengalami gejala penyakit mental yang memburuk.
Administrasi Tenaga Kerja Militer baru-baru ini mengumumkan akan memperkuat kriteria untuk wajib militer dengan menerapkan pedoman khusus untuk individu yang mengalami kejang karena epilepsi. Pedoman ini akan dikembangkan melalui konsultasi dengan ahli medis, yang akan mempertimbangkan faktor-faktor seperti waktu dan frekuensi kejang, dan apakah dapat dikontrol dengan terapi obat.
Pada kasus epilepsi, 30 sampai 40% tidak menunjukkan kelainan pada pemindaian EEG atau MRI. Gu yang merupakan mantan anggota militer tampaknya memanfaatkan fakta ini untuk mendapatkan pengecualian militer bagi kliennya.